Sebuah kontemplasi jiwa sang pemikir
oleh Yusniya El Musyafa[yusniyanti] pada 11 Februari 2011 jam 11:27
Ada banyak hal yang terpikirkan dalam sebuah nyanyian kehidupan sarat persoalan. Lumrah, manusia diciptakan dengan 1001 macam gandengan sebuah permasalahan dalam kehidupannya masing-masing. Besar kecilnya tergantung bagaimana kita menafsirkannya dengan bahasa keyakinan diri kita dalam memandang dan menyikapi sebuah masalah tersebut. Hingga terkadang, dalam pandangan sebagian orang intensitas masalah yg bernilai kecil bisa saja terlalu dibesar-besarkan dan masalah besar terkadang pula dianggap sepele. Lalu ketika permasalahan yg besar/kecil itu sama-sama berdampak _menghasilkan efek negatif karena terlalu lama diabaikan_, maka tak pelak orang akan panik, kalang kabut, terlibat konflik dan berujung pada sebuah masalah yang makin membesar dan tak tentu temu ujung persoalannya.
Ah manusia, kadang hati ini bertanya,
"sosokmu _yang katanya_ sempurna, tapi kenapa perilakumu jauh dari kata "SEMPURNA" yang Tuhan telah sematkan ucapan itu kedalam wujud _ada_mu. Meski tak semuanya, tapi, tetap saja aku terheran-heran.
(loh yusni, kamu kan juga manusia dan menjadi bagian pula dari wujud sosok "sempurna" seperti apa Tuhan berucap, lalu bagaimana dengan perilakumu sendiri??,
hihi, jadi beretoris ria)
Aneh, jiwa pemikirku selalu saja memikirkan hal-hal yang terkadang orang lain menganggapnya sepele, tapi bagiku itu tergelitik tuk dicermati, dipahami dan terkadang dikonklusikan kedalam jawaban-jawaban yang aku menganggapnya kotak akhir sebuah penilaian. Meski nantinya kan percuma saja, jawaban-jawaban persoalan kehidupan itu kan menguap sia-sia ditelan angin waktu yang menghembuskannya untuk berlalu.
Ini kontemplasi seorang jiwa pemikir,
pertanyaan retoris adalah makanan otaknya sehari-hari.
Jangan heran,
ia terkadang berpikir diluar nalar yang orang lainpun tak sanggup menggapai pemikirannya.
Ia terkadang emosi akan suatu hal, yang menurutnya itu tidak benar dan tak selaras dengan jiwa pemikirnya.
Jika matanya menemukan keganjilan dalam sebuah jawaban persoalan, maka secepat kilat otaknya berkontraksi, sel-sel saraf pemikirnya memompa ekstra cepat menemukan sebuah jawaban yang dianggap pas.
Sementara hatinya berteriak,
"hei.. Kau salah menebak"/
"itu bukan jawaban yg bagus.."/
"ah bodoh sekali orang-orang pintar itu"/
"ah..menurutku bukan seperti ini"/
"masa pertanyaan segitu aja tak terjawab"/
"halah..jawaban yg tak selaras"/
"kenapa ko tak nyambung"/
"ya..ya..ya.. Itu jelas tebakan yang salah".
"kenapa serasa ada yang kurang"/
"hoho, maaf, itu tak bagus"/
Ini kontemplasi seorang jiwa pemikir,
ia kan menelan bulat-bulat sebuah pernyataan lalu mengeluarkannya kembali dalam bentuk jawaban yang matang, cukup untuk membuat mulut-mulut itu terbungkam diam.
Terkadang ia meradang, bukan pada siapa-siapa. Tapi pada diri sendiri yang mengharuskannya tuk terus berpikir dan berpikir, mencari jawab disetiap pertanyaan yang tiba-tiba mencruat keluar permukaan.
Ia gelisah pada pemikirannya sendiri, pada jiwa pemikirnya yang terkadang, tak bisa berhenti _tuk sejenak saja_ membuka buku dan mencari jawab persoalan.
Ini kontemplasi seorang jiwa pemikir, inginnya dalam hati tuk sejenak bungkam. Membawa tawa-tawa cerianya keluar melewati celah-celah tulang rusuk yang memproteksi hatinya.
Lalu, dalam perjalanan ia _dalam tenangnya_ bersenandung lunglai, mendesah sekarat pada hatinya.
Puncak gunung es rapuh, dingin membeku tak mencair, lalu mencari padang sabana yang tengah tandus tuk teriakkan sumbang nyanyian emosi jiwanya ke udara,
//"sekali ini, ingin kukatakan bahwa aku kalah,
kalahh??
Yah, kalah, kalah oleh ketidakmampuanku menentukan pilihan-pilihan jawaban yg selalu timbul tenggelam dipikiran itu/
mengawang tinggi rendah melintasi bukit-bukit cabang neuron yg berjumlah ratusan miliar itu..
Aduhai otak, berhentilah berpikir, meski tuk sejenak saja.
Rasa-rasanya, ingin kuletakkan sebentar dan kukeluarkan daging otak ini dari tempurung kepala.
Membentur-benturkanmu takan cukup tuk membuatmu terparkir pada tanda STOP atau membuatmu menarik rem kendali tanda diam, yang ada pastilah hanya rasa sakit yang teriakkannya memekakkan rumah siput gendang telinga.
Hei, hei, hei jawaban apa yang hendak kau cari lagi dalam kehidupanmu yang nyaris tak berpelangi, bahkan mati ini.
Sadarkah kau telah membuat hari-hariku dipenuhi berjuta tanya yang menggelayut dan bergelantungan dalam ranting-ranting rimba akson itu.
Aku kalah, sekali lagi kalah/
kalah oleh ketidakberdayaanku membuat sikap tegas itu memancar dari dinding-dinding kerapuhan.
Inginku lepas, berteriak garang pada kehidupan yang belitan masalahnya terlalu kuat tuk aku genggam,/
Berhentilah sejenak,
Berhentilah sejenak,
pada ranum bukit kepercayaan diri menentukan sikap yg masa kedewasaanya nanti bakal aku petik sendiri.
Lihatlah,
bukankah telah kukibarkan putih kain ini yang menandakan bahwa aku telah berserah diri.
Lihatlah, aku sudah kalah.
Meski bukan puncaknya, tapi sadarku berhenti tuk sejenak merenung di titik nadhir ini.
Di titik yang tak sedikitpun memberikan ruang untukku melepas tawa//.
Inilah kenapa kukatakan,
ini...kontemplasi jiwa seorang pemikir.
RANGKAIAN KONKLUSI-KONKLUSI TAK BERNYAWA
Analisis berpikir, secara verbatim jawaban itu tersusun dengan sendirinya membentuk serangkain puzzle yang terbentuk sempurna. Lalu sebagai penanda jawabnya, tangan dengan lincah merangkai kata dan mulut tak berhenti bercerita tuk menjelaskan.
Terkadang seakan bak pujangga kala bersenandung syair lewat rangkaian bahasa beraturan licensia puitica, seorang pendebat kala dengan lincah mulutnya lantang bersuara, seorang filosuf kala sajian filosofinya berkumandang.
Hemm, sementara ini dulu deh. Contoh-contoh yang membentuk rangkain konklusi tak bernyawanya tak jabarin aja lain waktu.
Priiiiiiit.... Waktunya berhenti berpikir yusni!
Penjara pengap otak, 11 Pebruari 2011